Pengantar

oleh Frank van Vree (sesi pagi), Mariëtte Wolf (sesi siang)

Perkembangan penelitian: di balik layar program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950

(Seminar terbuka, 2 November 2019: Kantor Arsip Nasional, Den Haag)

Para hadirin sekalian,

Saya ingin menyambut Anda semua di acara kali ini, sebuah ‘seminar kerja’ yang menjabarkan ihwal perkembangan riset kami sampai hari ini. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, seminar kali ini diselenggarakan oleh para peneliti yang tergabung dalam program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, yang bekerja sama dengan kantor Arsip Nasional Belanda.

Pertama-tama, saya ingin berterima kasih banyak kepada pembicara sebelumnya, yakni Kepala Dinas Arsip Publik, Marens Engelhard, dan para stafnya di kantor Arsip Nasional. Atas undangan merekalah kita semua bisa berkumpul di sini. Namun, bukan hanya karena alasan itu saja saya harus berterima kasih kepada kantor Arsip Nasional. Sedari awal, kantor Arsip Nasional telah menunjukkan dukungan penuh terhadap program penelitian ini, dan selalu bermurah hati menyediakan waktu bagi para peneliti kami untuk berbincang dan membantu menemukan dokumen-dokumen yang terbilang penting guna keberhasilan penelitian ini.

Fokus utama kita hari ini adalah tentang melakukan riset, khususnya riset arsip: apa makna yang terkandung dalam riset semacam ini? Sumber-sumber mana sajakah yang baik untuk dirujuk saat meneliti tentang Indonesia, dan apa yang bisa tersaji dari sumber-sumber tersebut? Cara apa yang ditempuh para peneliti agar terhindar dari bias atau kontradiksi yang muncul dalam sumber-sumber tersebut? Dan bisakah kita memastikan agar beragam suara dapat didengar dengan baik, sehingga penelitiannya tidak hanya menggarisbawahi sudut pandang Belanda saja, melainkan juga memerhatikan suara-suara yang datang dari kaum Republiken di Indonesia, dari para serdadu wajib militer, dan dari para penduduk kampung-kampung di Jawa?

Seminar kali ini menawarkan banyak kegiatan yang menarik dan membuka peluang interaksi dalam beragam lokakarya dan sesi presentasi yang akan dipandu oleh para peneliti program ini, dan juga oleh pakar-pakar yang tak tergabung dalam program penelitian tersebut. Mereka semua akan berbagi pengalaman tentang penelitian-penelitian yang tengah mereka lakukan. Selain dari itu, kantor Arsip Nasional pun akan memandu lokakarya ihwal praktik riset arsip, dan tur ke lokasi penyimpanan arsip, serta mengunjungi pameran Highlights in perspective (Perspektif dalam Sorotan).

Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh, izinkan saya memaparkan ulasan ringkas ihwal prinsip-prinsip kunci dan pendekatan yang dipakai dalam program penelitian ini, serta penjelasan tentang sudah sampai sejauh mana penelitian ini dilangsungkan dan apa saja yang telah diperoleh.

1. Pendekatan penelitian dan prinsip-prinsip dasarnya

Sebagaimana akan Anda ketahui, program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950, merupakan penelitian bersama tiga lembaga penelitian Belanda, yaitu Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD). Dalam penelitian ini, NIOD berperan sebagai sekretaris program penelitian.

Program penelitian ini terdiri dari delapan subprogram penelitian, dan mencoba mencari jawaban ihwal sifat, besaran, penyebab, dan dampak dari kekerasan yang dilakukan oleh Belanda, dengan menilik konteks internasional, sosial dan politis yang lebih luas.

Program penelitian ini tidak menyelidiki keseluruhan sejarah kolonialisme Belanda, serta kekerasan dan rasisme yang berkelindan di dalamnya. Bukan itu titik tolak program penelitian ini; lagipula, meneliti ihwal sejarah 350 tahun kolonialisme pasti memerlukan pendekatan yang sangat berbeda. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kami menafikan konteks sejarah yang lebih luas itu. Justru sebaliknya, kami meyakini bahwa ketidaksetaraan yang sangat galib dalam masyarakat pra-perang kemerdekaan menyajikan latar yang paling mendasar dan oleh karenanya menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya memahami kekerasan yang terjadi di tahun-tahun antara 1945 dan 1950.

Program ini memusatkan perhatian pada pertanyaan ihwal dinamika peristiwa yang mengitari kekerasan-kekerasan pada periode itu. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, benar bahwa akar dari kekerasan-kekerasan tersebut bisa dilacak jauh sebelum perang kemerdekaan pecah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Piet Hagen dalam bukunya Koloniale Oorlogen in Indonesië (Perang-perang Kolonial di Indonesia) yang terbit tahun lalu, juga di masa pendudukan Jepang. Akan tetapi, periode yang dikaji dalam penelitian ini adalah masa-masa yang dimulai sejak Agustus 1945, yang ditandai dengan kapitulasi Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945; periode di mana berbagai kota dan wilayah berada pada kekosongan kekuasaan dan dilingkupi oleh kekerasan yang meluas.

Periode inilah yang memberi bentuk pada fokus program penelitian ini: sebuah kajian perihal perang dan kekerasan yang dimulai dari Agustus 1945 sampai dengan akhir tahun 1949, dengan menilik secara terperinci aspek-aspek militer, politik, dan yudisial, serta dampak kekerasan yang terjadi terhadap berbagai kelompok masyarakat. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga membahas dampak sosial dan politik yang terjadi di Belanda.

Di beberapa subprogram, penelitian dilakukan secara bersama-sama dengan para sarjana dari Indonesia dan beberapa negara lain. Tujuan dari kerja sama ini adalah untuk memunculkan variasi pandangan yang lebih luas atas sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia di antara tahun 1945 dan 1950. Kerja sama antar bangsa ini juga dilakukan guna menghindari sudut pandang yang Eurosentrik, termasuk dalam penggunaan istilah-istilah yang kerap dibuat secara sepihak. Dalam subprogram-subprogram tersebut, misalnya, kami mencoba menilik dampak perang pada tingkat lokal dan regional di Indonesia, dan memperbandingkannya dengan perang-perang kemerdekaan di negara lain pada periode yang sama. Saya akan kembali pada pembahasan ini nanti.

Satu aspek yang teristimewa pada program penelitian ini adalah subprogram Saksi dan Rekan Sezaman. Subprogram ini membuka ruang bagi kisah-kisah personal dari Belanda dan Indonesia. Orang-orang yang hidup di tahun-tahun antara 1945-1949, atau yang memiliki kisah tentangnya, diundang dan didekati secara aktif agar mereka mau berbagi cerita. Dengan cara ini, kisah-kisah tersebut dapat diabadikan untuk kemudian diketahui oleh generasi mendatang. Cerita-cerita semacam ini diperoleh melalui berbagai cara, misalnya lewat wawancara, diskusi kelompok, surat-menyurat, bahkan dengan membagikan dan mempercayakan kepada kami buku harian, surat-surat asli, dan gambar yang dimiliki perorangan. Salah satu sesi pada seminar hari ini—Speaking of personal stories (berbagi kisah personal)—yang diisi oleh Eveline Buchheim, Fridus Steijlen dan Stephanie Welvaart, bekerja sama dengan seorang sejarawan Indonesia Ody Dwicahyo – diselenggarakan khusus untuk subprogram Saksi dan Rekan Sezaman.

2. Sudah seberapa jauh kami melangkah?

Program penelitian ini dimulai pada 1 September 2017. Artinya, sudah lebih dari dua tahun penelitian ini berlangsung, dan hanya tersisa kurang dari dua tahun lagi. Di bulan September 2021, kami harus menyajikan hasil-hasil terpenting dari penelitian ini. Dan sudah bisa dipastikan ini artinya kami harus bekerja lebih keras lagi.

Pada separuh perjalanan ini, sangat sukar bagi kami untuk membuat pernyataan yang spesifik tanpa mengharapkan akan suatu simpulan. Oleh sebab itu, izinkan saya untuk memberi komentar hanya tentang dua subprogram penelitian yang hampir tuntas. Pertama, proyek penelitian antar bangsa yang dijuduli Comparing the wars of decolonisation: Extreme violence during reoccupation and counter-insurgency, 1945-1975 (Membandikan perang-perang dekolonisasi: Kekerasan ekstrem pada masa pendudukan kembali dan kontra-insurgensi, 1945-1975). Subprogram penelitian tersebut mengkaji dan memperbandingkan beragam perang kemerdekaan atau perang dekolonisasi di Asia dan Afrika. Subprogram ini bekerja bak ‘pressure cooker’: dikerjakan di musim semi tahun ini, dalam kurun tiga bulan saja, sekelompok peneliti internasional bekerja dengan intensif di NIAS, Institut Belanda untuk Kajian Lanjutan, di Amsterdam. Bagian dari subprogram penelitian ini adalah penyelenggaraan pertemuan yang terbuka untuk umum di Perpustakaan Umum Amsterdam pada tanggal 20 Juni 2019. Saya yakin beberapa orang di antara hadirin sekalian juga hadir pada pertemuan tersebut.

Hasil dari penelitian ini akan terbit dalam Bahasa Belanda di bulan Juni 2020, dalam edisi spesial jurnal ilmiah Low Countries Historical Review. Versi Bahasa Inggrisnya, yang memuat hasil penelitian secara lebih terperinci, akan diterbitkan dalam sebuah bunga rampai di bulan September 2021. Publikasi-publikasi tersebut menyajikan beragam aspek dari berbagai perang dekolonisasi yang mencakup penggunaan kekerasan ekstrem dalam peperangan asimetris (sebagaimana dilihat dalam sudut pandang militer), pencatatan dan penyimpanan informasi ihwal kekerasan, misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh tentara Perancis di Aljazair, dan oleh tentara Belanda di Indonesia. Tujuan utama dari penelitian komparatif ini adalah, pertama, untuk membuka sudut pandang yang lebih beragam atas pemahaman kita tentang perang Indonesia-Belanda, dan, kedua, untuk membantu kita mengidentifikasi dan menganalisis pola-pola dan peristiwa-peristiwa dalam peperangan.

Ada satu subprogram lagi yang hampir usai, yaitu subprogram Konteks Politik Internasional, yang menyasar pengungkapan informasi-informasi baru yang ditemukan dalam arsip-arsip internasional; di Inggris dan di Perancis, juga di kantor Administrasi Catatan dan Arsip Nasional (NARA), di Washington, dan di kantor Arsip Nasional PBB di New York. Dalam arsip-arsip tersebut, kami dapat menemukan banyak sekali informasi yang sebelumnya belum pernah digunakan dan dikaji sampai hari ini, informasi yang mencakup laporan dari para pengamat asing yang berada di lokasi sampai kepada korespondensi diplomatik. Dari sumber-sumber tersebut, misalnya, kami dapat menyimpulkan mengapa dan bagaimana sampai pada akhirnya Belanda karena pendirian dan ulahnya sendiri menjadi terisolasi dari dunia, meskipun Perancis juga melakukan hal yang sama selama bertahun-tahun. Bagian dari subprogram penelitian ini juga membahas secara terperinci perdagangan senjata yang digunakan dalam peperangan tersebut. Hari ini, dua peneliti dari subprogram penelitian tersebut, yaitu Tom van den Berge dan Emma Keizer, akan memaparkan sebagian dari temuan-temuan mereka dalam sesi Strictly confidential! The influence of international diplomacy on Indonesian independence (Sangat Rahasia! Pengaruh diplomasi internasional atas kemerdekaan Indonesia).

Sesungguhnya banyak yang bisa dikatakan tentang kemajuan yang sudah kami capai dalam beberapa subprogram penelitian lain, berikut kegiatan dan inisiatif dari lusinan peneliti pada subprogram penelitian tersebut. Beberapa di antaranya akan menyampaikan kepada Anda secara langsung dalam berbagai lokakarya dan presentasi di seminar ini.

Akan tetapi, kami akan membatasinya, semata guna berbagi berita tentang apa yang para peneliti kami tengah lakukan, yakni pencarian tiada akhir arsip-arsip perorangan dan lembaga, yang disimpan bukan hanya di kantor Arsip Nasional, melainkan juga di beberapa tempat lain di Belanda, dan di luar Belanda; kerja lapangan di Indonesia yang bersifat lebih kurang antropologis dalam mencari suara-suara dari masa lampau; beragam upaya untuk memperoleh data yang dapat diandalkan tentang korban dalam periode transisi antara tahun 1945 dan 1946 (yang akan disajikan oleh Ron Habiboe); analisis terperinci atas wawancara-wawancara yang sudah pernah terlebih dahulu dilakukan; dan pembacaan atas pelbagai teks otobiografi seperti surat, buku harian, dan memoir yang disimpan di berbagai lembaga.

Dan kemudian, tentu saja, kami juga akan menghadirkan hasil dari partisipasi para peneliti kami di berbagai konferensi dan simposium dengan para sejarawan Indonesia, dan proyek kolaborasi dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Jika Anda tertarik akan hal ini, Anda bisa menghadiri sesi presentasi ini yang akan disampaikan oleh Anda Zara dan Martijn Eickhoff. Pada sesi yang dijuduli Beyond the demarcation line (Di balik garis demarkasi), Anda dan Martijn akan menggambarkan subprogram Studi Regional yang memuat dialog antara sejarawan Belanda dan Indonesia, dan peran kunci yang dipegangnya. Sebuah dialog yang dibentuk oleh pertukaran sumber sejarah dan sudut pandang, baik historis atau bukan, guna memperdalam pemahaman kita tentang dinamika peristiwa sejarah yang terjadi di beberapa lokasi di Nusantara.

3. Acara hari ini

Seperti yang telah saya sebutkan, saat ini kami sudah sampai pada paruh kedua program penelitian ini. Atas dasar inilah, setelah sebelumnya menyelenggarakan dua pertemuan yang terbuka untuk umum di Pakhuis de Zwijger, tahun ini kami memutuskan untuk fokus pada praktik penelitian, sebagaimana disiratkan pada judul seminar kali ini, yaitu Research in progress. Behind the scenes of the research programme Independence, decolonisation, violence and war in Indonesia, 1945-1950 (Perkembangan penelitian: di balik layar program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950).

Tujuan kami hari ini adalah untuk mengundang Anda untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh para peneliti kami dan bertukar gagasan dengan mereka tentang sumber-sumber yang mereka gunakan. Kami akan menunjukkan kepada Anda apa yang dimaksud dengan ‘melakukan penelitian’ pada praktiknya, sumber-sumber apa yang digunakan, dan apa yang hadir pada sumber-sumber tersebut. Dan, khususnya, kami ingin membahas tentang tantangan-tantangan yang mengemuka saat mengunakan sumber-sumber tersebut, yang bahkan kemudian dijadikan sebagai tema dari beberapa lokakarya dan presentasi yang ada pada hari ini. Dalam lokakarya The Sunbeam has hit its target (Sinar mentari telah menerpa), contohnya, Azarja Harmanny akan membahas tentang peluang dan bahaya penggunaan laporan resmi militer sebagai sumber sejarah. Keterandalan sumber tersebut akan dibahas dalam sesi lokakarya From reliable sources (Dari sumber-sumber yang dapat diandalkan), yang akan dipandu oleh Tico Onderwater dan Esther Zwinkels. Lokakarya tersebut akan menunjukkan bagaimana laporan intelijen digunakan untuk menumpas para pejuang revolusioner Indonesia. Selanjutnya, kebersandingan sudut pandang yang berbeda dan kerap bertolak belakang menjadi tema kunci pada lokakarya Reading the news from different sides (Membaca kabar dari sisi lain) yang dipandu oleh Anne van der Veer dan Maarten van der Bent. Mereka membandingkan laporan-laporan dari koran-koran yang diterbitkan oleh pihak Belanda, Indonesia, dan Sino-Indonesia.

Sebagaimana yang telah dikemukakan, Arsip Nasional memegang peran penting dalam program penelitian ini. Hampir tiap minggu sebagian peneliti kami bekerja di sini; gedung ini sudah seperti rumah kedua bagi mereka yang dengan tekun membolak-balik halaman pada dokumen-dokumen yang dianggap relevan yang disimpan Arsip Nasional. Setidaknya ada dua contoh dokumen yang sangat relevan bagi proyek penelitian ini: Arsip NEFIS, yang memuat materi-materi dari Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS-Badan Intelijen Militer Belanda), yang kemudian berganti nama menjadi Central Military Intellgence Service (CMI) yang bermarkas di Bandung. Arsip-arsip ini, beserta inventaris daring, yang berkat Harry Poeze, peneliti dari KITLV, menjadi bisa diakses oleh publik, menjadi sumber sejarah yang sangat kaya oleh sebab memuat dokumen-dokumen Indonesia yang sangat besar dan beragam—sebagian daripadanya adalah hasil sitaan oleh dinas intelijen Belanda dari tahun 1943 sampai 1949. Dalam presentasi A problematic gold mine (Tambang emas yang penuh perkara), sejarawan seni Aminudin Siregar dan Harm Stevens merefleksikan kegundahan mereka saat meneroka dokumen-dokumen tersebut.

Hari ini, fokus kita adalah koleksi arsip, yang menjadikan kantor Arsip Nasional menjadi tempat pertemuan yang paling sempurna. Akan tetapi, sebagaimana akan kita amati nanti, para peneliti akan menyajikan materi-materi lain yang tak terbatas pada apa yang disimpan disini. Sejarawan Indonesia, Norman Joshua, contohnya, akan membawa kita ke International Institute of Social History (IISH) dan NIOD guna mencari kesaksian perorangan yang lalu akan disajikannya dalam sesi presentasi Revolution and its discontents (Revolusi dan segala kekurangannya) ihwal penggunaan sumber-sumber dan distorsi yang mengemuka saat meneliti tentang pergerakan revolusioner Indonesia. Gerda Jansen Hendriks, sejarawan film dan televisi, akan memutar beberapa cuplikan film dari sumber berita Indonesia dan Belanda dari koleksi Sound & Vision in Hilversum pada sesi presentasi The image of war (Citra perang).

Dan pada akhirnya, beberapa bagian dari acara ini disajikan secara khusus oleh kantor Arsip Nasional, antara lain:

  • lokakarya bagi mereka yang tertarik meneliti di Arsip Nasional, yang akan dipandu oleh Diederik van Romondt
  • sesi presentasi ihwal penelitian keluarga dalam arsip Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang akan dipandu oleh Erik Mul
  • tur ke tempat penyimpanan arsip dan lokasi pameran Highlights in perspective: from the Act of Abjuration to the Abdication (Perspektif dalam Sorotan: dari Abjurasi kepada Abdikasi), yang akan dipandu oleh Wilfred Boom

Para hadirin sekalian,

Saya yakin bahwa tempat penyelenggaraan seminar ini berikut acara yang sudah tersusun akan memberikan gambar tentang kegiatan penelitian kami. Saya berharap Anda bisa menikmatinya dan dapat menuai banyak pengetahuan dari kegiatan ini.